Salah satu sunnah yang perlu diperhatikan ketika thawaf adalah melakukan “raml”. Yang dimaksud dengan raml adalah berjalan cepat dengan memendekkan langkah kaki. Sunnah ini ditujukan untuk kaum laki-laki saja. Kemudian empat putaran berikutnya diselesaikan dengan jalan biasa.


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Raml itu bukanlah dengan menggoyang-goyangkan pundak, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh. Akan tetapi, raml adalah berjalan dengan penuh tenaga dan semangat, yaitu jalan cepat, namun tidak dengan memanjangkan langkah (artinya, dengan langkah pendek, pent.). Pada umumnya, jika seseorang jalan cepat, dia melakukan dengan memanjangkan langkah agar bisa melangkah agak jauh (lebar). Akan tetapi ketika thawaf kami katakan, jalan cepat tanpa memperlebar langkah, namun dengan memperpendek langkah.” (Asy-Syarhul Mumti’, 7: 242)


Raml sendiri disyariatkan pertama kali berdasarkan hadits yangd iriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya datang mengunjungi Ka’bah.” Kaum Musyrikin berkata, “Dia datang kepada kalian, padahal fisik mereka telah dilemahkan oleh penyakit demam yang melanda kota Yatsrib (Madinah).”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya agar berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama dan berjalan biasa antara dua rukun (sudut). Dan tidak ada yang menghalangi beliau apabila (beliau ingin) memerintahkan mereka agar berlari-lari kecil untuk semua putaran, namun hal itu tidak lain kecuali sebagai kemurahan beliau kepada mereka.” (HR. Bukhari no. 1602)


Kejadian tersebut adalah ketika beliau melaksanakan umrah pada tahun ke tujuh hijriyah bersama-sama dengan para sahabatnya. Kaum musyrikin Makkah menyangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum adalah manusia-manusia lemah, karena selama tinggal di Madinah terkena penyakit demam (al-khuma). Penyakit al-khuma ini memang penyakit yang populer menimpa penduduk Madinah, karena teriknya sinar matahari di kota Madinah.


Maka orang-orang musyrikin Makkah pun duduk “mengintip” di sebelah kiri Ka’bah, yaitu di perbukitan di sekeliling ka’bah di arah sudut Hajar Aswad untuk melihat thawaf beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya. Orang-orang musyrikin ingin membuktikan persangkaan mereka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum adalah manusia-manusia lemah secara fisik ketika thawaf mengelilingi ka’bah.


Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan raml untuk membantah anggapan orang-orang musyrik Makkah tersebut.


Dalam riwayat Muslim, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya datang ke Makkah dalam keadaan lemah oleh penyakit demam (khuma) Madinah. Lalu orang-orang musyrik Makkah berkata kepada sesama mereka, “Besok, akan datang ke sini suatu kaum yang lemah karena mereka diserang penyakit demam yang memayahkan.” Karena itu, mereka duduk di dekat Hijr memperhatikan kaum muslimin thawaf.


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka supaya berlari-lari kecil (raml) tiga kali putaran dan berjalan biasa empat kali putaran antara dua sujud (sudut ka’bah) agar kaum musyrikin melihat ketangkasan mereka. Maka berkatalah kaum musyrikin kepada sesama mereka, “Inikah orang-orang yang kamu katakan lemah karena sakit panas, ternyata mereka lebih kuat dari golongan ini dan itu.” (HR. Muslim no. 1266)


Dari penjelasan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas, raml ketika itu hanya diperintahkan pada tiga putaran pertama saja, dan itu pun hanya dari sudut hajar aswad dan rukun Yamani saja, tidak satu putaran penuh. Hal ini karena orang-orang musyrik itu mengintip dari arah perbukitan antara rukun hajar aswad dan rukun Yamani. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 7: 242)


Tetap Dilakukan Usai Pembebasan kota Makkah


Dari awal mula disyariatkannya raml di atas, kita mengetahui bahwa sebab disyariatkannya adalah ejekan orang-orang musyrik Makkah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Setelah peristiwa penaklukan kota Makkah, Islam dan kaum muslimin pun berjaya, dan tidak ada lagi orang-orang musyrik di Makkah. Tentunya, ejekan dan hinaan itu tidak ada lagi. Meskipun demikian, raml tetap disyariatkan.


Oleh karena itu, ketika sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada dirinya sendiri apakah akan tetap melakukan raml, beliau pun menjawab sendiri,


Berlari-lari kecil ini adalah sesuatu sunnah yang telah dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami tidak suka bila meninggalkannya.” (HR. Bukhari no. 1605)

Dan demikianlah praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau tetap melakukan raml, bahkan lebih dari yang dilakukan pertama kali dahulu. Jika awalnya hanya dilakukan dari rukun hajar aswad dan rukun Yamani saja, maka ketika haji Wada’, beliau melakukannya satu putaran penuh dan tiga putaran pertama, sebagaimana hadits dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan detil tatacara haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Lalu, apakah hikmah tetap disyariatkannya raml, padahal tidak ada lagi orang-orang musyrik Makkah?


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,


Meskipun dulu (raml) disyariatkan untuk membangkitkan amarah orang-orang musrik dam tidak ada lagi orang-orang musyrik pada jaman sekarang (di Makkah), akan tetapi sebabnya adalah untuk mengingatkan manusia bahwa mereka diperintahkan untuk membangkitkan amarah orang-orang musyrik. Hendaknya Engkau memunculkan perasaan tersebut dalam raml ketika thawaf, seolah-olah di hadapanmu ada orang-orang musyrik, untuk membangkitkan amarah mereka. Karena membangkitkan amarah orang musyrikin termasuk dalam perkara yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),


“Yang demikian itu ialah karena tidaklah mereka ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal salih.” (QS. At-Taubah [9]: 120)” (Asy-Syarhul Mumti’, 7: 243-244)


Sumber : Himpuh.co.id