Dia mendatangkan padamu warid supaya engkau selamat dari pegangan aghyar dan dibebaskannya engkau dari kekangan atsar.


أَورَدَ عَلَيْكَ الوَارِدَ لِيَتَسَلَّمَكَ مِن يَدِ الأَغْياَرِ وَلِيُحَرِّرَكَ مِنْ رِقَّ الآثارِ


Aghyar adalah apa saja yang selain Allah, yang pada hakikatnya adalah ciptaan-Nya jua. Sedangkan atsar adalah dunia dan seluruh isinya ini, yang secara hakiki merupakan ciptaan-Nya, yang membekas sedemikian rupa di dalam hati seseorang hingga melupakannya dari yang memberi atsar, yaitu Allah Swt.


Kata pengarang Futuhul ‘Arifin, aghyar dan atsar ialah dunia seisinya dan hawa nafsu seseorang terhadapnya, yang mengikat dan menawan seorang hamba hingga ia tidak dapat masuk atau berjalan lebih jauh (lebih dekat) kehadirat Tuhan. Ketika seorang hamba yang salik mampu melepaskan diri dari aghyar dan atsar, dengan karunia atau warid yang didatangkan-Nya ke dalam hati hamba, maka ia dapat berhadapan dengan Tuhannya.


Wirid dan warid sebagaimana dijelaskan sebelumnya, adalah dua hal yang saling berkesinambungan. Dengan wirid seorang salik mendapatkan warid, dan dengan warid ia dapat “menjalankan” wirid secara baik dan sempurna. Kesinambungan warid yang datang pada seorang salik membuatnya makin dekat dengan hak Kesempurnaan-Nya. Warid sebagaimana asal katanya sesuatu yang datang atau didatangkan, ia adalah hasil dari sampai kepada pengertian yang hakiki. Ia datang dari al-Haqq, Sang Realitas tertinggi.


Dunia dan seisinya, serta nafsu yang condong kepadanya, menahan seseorang dalam genggamannya. Kata Syekh as-Syarqawi, “mereka merampas dirimu karena cintamu kepadanya, sehingga engkau bergantung kepada mereka”. Orang yang bergantung kepada sesuatu menjadi tak merdeka lagi.


Lalu dengan warid, Allah menyelamatkan orang yang bergantung ini dan memerdekakannya dari dunia yang memperbudak dan menawannya. Demikian, betapa kasih sayang-Nya selalu ditujukan kepada hamba yang hanya menjadikan Dia saja Tuannya. Hanya Dia-lah, Allah ‘azza wa’ala–yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi, yang sepatutnya disembah dan diagungkan dari segala sesuatu. Dengan-Nya lah kemerdekaan yang hakiki didapatkan, kata Syekh Zarruq, yang menjamin kenyamanan atau kebahagiaan yang abadi.


Sebagaimana ciptaan-Nya yang lain, manusia terikat kepada-Nya secara mutlak, dan ia berdiri setara dengan segala ciptaan lainnya serta tak layak menjadi budak mereka. Lebih-lebih nafsunya, yang sebenarnya bagian dari dirinya dan mesti dikendalikannya agar ia menjadi hamba yang merdeka. Pada _nafs_ inilah membekas segala isi dunia, mengikatnya sedemikian rupa hingga ia lupa pada kesejatiannya sebagai hamba di hadapan Tuhan yang sejati.


Keterikatan kepada dunia dan seluruh isinya berbeda dengan keterikatan kepada Tuhan yang menciptakan semuanya, yang membebaskan ciptaan-Nya. Tidak seperti halnya takut kepada makhluk yang membuatnya menghindar dari makhluk yang ditakutinya, takut atau taqwa kepada Tuhan pada hakikatnya malah membuatnya dekat kepada-Nya. Hakikat penciptaan dengan demikian adalah wujud pengagungan (tajalli)-Nya. Sampai di sini, orang yang tak pernah “berhubungan” dengan-Nya mungkin tak juga (mau) mengerti, karena ia belum merasakan lezat karunia-Nya yang abadi.


Namun, bisa saja, dengan jenuhnya pada kesenangan dunia yang menipu ia akan tergerak untuk merasakan kenikmatan atau kesenangan atau kebahagiaan yang abadi. Dan salah satunya, bentuk karunia itu, adalah merampasmu dari tawanan kesenangan yang sementara ini. Mungkin engkau pernah berbuat baik dengan tulus atas nama-Nya, mungkin engkau pernah melakukan disipilin kebaikan tertentu yang sungguh-sungguh, mungkin pula ada orang yang mendoakanmu karena sayangnya kepadamu. Maka, baik sangka dengan kebaikan yang tulus adalah jalan Rahmat-Nya.


Tetaplah terus melakukan kebaikan, meskipun kau tidak atau belum merasakan faedahnya bagi dirimu. Kau tak pernah tahu kebaikanmu yang mana kelak akan menyelamatkanmu. Mungkin kebaikan yang tulus itu, yang tak pernah kau sadari, tak menyelamatkanmu dari perkara-perkara kecil dunia ini, tapi bisa jadi ialah yang akan menyelamatkan dari perkara besar yang tak dapat diatasi orang-orang selainmu.


Wirid dan warid adalah sunnatullah, atau dalam perkataan lain shun’allah (perbuatan Allah) untuk memperkokoh segala sesuatu ciptaan-Nya. Maka jadi sempurnalah segala sesuatu sesuai dengan kadarnya–yang ditentukan-Nya. Sungguh Allah lebih mengetahui apa-apa yang kita lakukan. Kita memahami kehendak-Nya secara bertahap, berangsur-angsur, melalui amal saleh setelah beriman dengan penuh kepada-Nya. Wallahu a’lam, wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq.


Sumber : Alif.id