Kalau ada di antara rukun haji yang paling unik, maka itu adalah wukuf. Bagaimana tidak aneh, coba lihat apa yang dikatakan tentang definisi wukuf dalam kitab, ya taruhlah standar pesantren seperti Fath al-Qarib:

حضور المحرم بالحجّ لحظةً بعد زوال الشمس يوم عرفة

Wukuf adalah seorang jemaah haji hadir sebentar di tanah ‘Arafat pada tengah hari ‘Arafah.

Kata ‘sebentar’ (lahzhah) dalam fikih adalah ungkapan untuk sesuatu yang sangat sebentar. Para kiai kuna biasanya memberi makna interlinear yang unik: sak crut. Sangat sebentar sekali.

Sudah mulai kelihatan bukan uniknya?

Namun di balik keunikan ini, wukuf menyimpan rahasia tersendiri di kalangan para sufi. Dalam sebuah referensi, saya pernah membaca bahwa wukuf merupakan sebuah momen di mana para wali berkumpul. Wali Kutub, yang jumlahnya cuma satu itu, berkumpul dengan Wali Abdal yang jumlahnya empat puluh di ‘Arafat (‘Arafat, nama tempt. ‘Arafah, nama hari). Di padang tersebut mereka merapatkan banyak hal tentang manusia. Entah Anda percaya atau tidak, bagi kalangan sufi para wali inilah punjer dunia. Alasan dunia ini masih terus ada (belum kiamat), ya karena masih adanya para wali-wali ini. Kepercayaan dimensi tasawuf macam ini tak wajib diimani. Namun sebagai insan pesantren, saya pribadi mempercayai doktrin-doktrin semacam ini.


Baca Juga : HIKMAH RUKUN HAJI (1) : IHRAM, GERBANG MASUK DIMENSI LAIN


Dalam kitab-kitab sufi (misal al-Kawkab al-Zahirah karya Ibn Mugaizil), dijelaskan bahwa seorang wali yang bernama Syaikh Mufarrij Al-Damamili sedang mengajar di zawiyah (padepokan, pesantren) milik beliau. Namun ketika musim haji selesai, para jemaah bercerita bahwa mereka melihat Syaikh Mufarrij berada di ‘Arafat pada hari ‘Arafah. “Oleh sebab itu,” Ibn Mugaizil memberi catatan atas kisah ini, “Wali Abdal adalah wali yang ketika pergi maka akan ada bentuk rohani lain yang menggantikannya (tabaddul).”

Sementara referensi lain menyebutkan bahwa ‘Arafat pada hari ‘Arafah adalah tempat berkumpulnya Khidir, Jibril, Mikail, dan Israfil. Keempat makhluk istimewa Tuhan ini datang ke ‘Arafat hanya untuk mengucapkan sepatah dua kata, “Ma Sya’a Allah,” dan beberapa kata lain. Setelah itu mereka pergi. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir sebagai hadis Nabi Saw. Sementara hadis lain menyebutkan bahwa di tempat tersebut dan pada hari tersebut, Khidir dan Ilyas bertemu, berangkul, dan mengucapkan salam tiap tahunnya.

Khidir sendiri adalah seorang nabi (versi lain dari wali) yang hidup menurut tradisi tasawuf. Dia diberi panjang umur oleh Allah karena telah meminum air kehidupan. Beberapa ulama yang lebih ortodoks (misal Ibnu Hajar Al-‘Asqalani) meyakini Khidir tidak panjang umur; sehingga apa yang tertulis di buku para wali tentang sosoknya adalah khurafat, fiksi, tidak berdasar. Perdebatan teologis tentang hal ini cukup panjang.


Sementara Ilyas adalah nabi dari kalangan Suku Israel. Ibnu Katsir menyebut bahwa ia diutus secara spesifik kepada penduduk Balabak, sebelah barat Damaskus. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ia doanya sangat manjur. Ia pernah meminta agar Allah tidak menurunkan hujan. Cling! Tiga tahun tidak turun hujan. Nah, Khidir dan Ilyas ini disebut-sebut haji setiap tahunnya dan meminum air Zamzam yang mana tegukan itu membuat mereka segar selama setahun!

Setelah itu mereka berdua akan berkumpul di ‘Arafat lalu mereka berdua akan bertemu dengan Wali Kutub dan para Wali Abdal untuk bermusyawarah. Ajaib memang.

Meskipun secara fikih diam di ‘Arafat saja sudah sah sebagai wukuf, namun jemaah haji tetap disunahkan melakukan beberapa hal. Kita disunahkan untuk memperbanyak zikir, bertafakur, bertaubat, dan berkhutbah/mendengarkan khutbah. Ini semua adalah di antara beberapa kesunahan-kesunahan ketika melakukan wukuf.


Sumber ; Alif.id